Senin, 24 Januari 2011

Illegal Logging di Merang

Pak Gubernur, SFM dan Perubahan Iklim
Oleh: Mohamad Rayan M.Ec
Pak Gubernur merasa geram ketika melihat langsung kerusakan hutan Merang dengan menaiki helikopter ketika memantau hutan Merang yang 90.000 ha dari 265.000 masih baik pada hari Jum’at 10 Desember 2010 seperti dilaporkan media cetak nasional 11 Desember 2010 lalu.
Lebih jauh laporan tersebut menggambarkan illegal logging masih marak di hutan Merang, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin dan terdeteksi ada 12 titik lokasi penimbunan kayu hasil pembalakan liar. Kayu-kayu tersebut siap di dihanyutkan melalui sungai dalam bentuk rakit dengan ratusan bahkan ribuan pohon untuk disetorkan pada sawmill (panglong) yang banyak jumlahnya di pinggir sungai Lalan.

Mayoritas sawmill ini adalah ilegal. Dan mayoritas panglong ini dimiliki Cukong berukuran menengah dan besar dan namanya sudah diketahui penegak hukum dan masyarakat di sekitar hutan Merang. Seperti tulisan perubahan iklim sebelumnya, Cukong-cukong ini berkipas-kipas dengan uangnya diatas penderitaan masyarakat marjinal yang di rayu dan dijebak untuk membalok secara ilegal.

Dilaporkan juga pada koran Nasional tersebut Bapak Gubernur langsung membentuk tim yang terdiri atas Pemkab MUBA, Pemprov Sumsel, Kemenhut dan aparat terkait untuk menerbitkan pembalakan liar tersebut dengan tegas.

Marilah kita bersyukur karena akan adanya aksi dari bapak Gubernur Sumsel dalam memitigasi pembalakan liar di hutan Merang dan mungkin areal hutan lainnya di Sumsel. Ini adalah bukti komitmen untuk membuat Green Sumsel atau Sumsel Hijau. Dan ini wajar saja karena Sumsel adalah salah satu kandidat provinsi untuk proyek REDD+ didanai dana dari Norwegia dan dana lainnya. Sebagai contoh kemungkinan dana tambahan adalah sebagian dana $110 Milyar dolar komitmen hibah negara maju pada negara sedang berkembang yamg merupakan hasil Konferensi PBB Iklim ke 16 di Cancun, Mexico bisa mengalir ke Indonesia dan Sumsel untuk membantu masyarakat disekitar dan didalam hutan.

Memang aksi akan dilakukan, namun seperti tulisan sebelumnya di kolom ini, tantangan didepan akan berat. Ini disebabkan susahnya menegakan hukum pada cukong illegal logging yang berkoalisi dengan oknum penegak hukum untuk mengekpolitasi masyarakat marjinal di Sumsel untuk membalok. Sedangkan penegakan hukum hanya salah satu sektor saja dalam mengelola hutan secara berkesinambungan atau Sustainable Forest Management.

Sebelum kita membicarakan SFM, ada baiknya kita ulang inti permasalahan illegal logging di Merang dan di Sumsel.

Masalah klasik illegal logging menurut teori dilakukan oleh tiga aktor yaitu Oknum Pejabat, Cukong dan Masyarakat Pembalok. Dalam teori ini si cukong lah yang mengekploitasi masyarakat marjinal yang membalok. Dan memuluskan kegiatan illegal ini dengan menyogok oknum pejabat di industri perkayuan bisa di dinas, departemen atau bagian penegakan hukum.

Seterusnya dalam teori ini, si cukong memberitahukan kalau butuh dana atau dana emergensi, datang saja padanya. Cukong pun ada kelas kecil, menegah dan kakap. Kelas kecil siap mendanai kegiatan kecil untuk masuk hutan dan membawa balok ke panglong atau sawmill ilegal yang berada banyak di pinggir sungai kalau di daerah Merang, Bayung Lencir. Keberadaan cukong kecil mulai berkurang atau punah disebabkan menurut teori ini, si cukong kecil tidak mampu bayar sogok kalau kena razia. Keberadaan cukong menengah sekarang ini, cukup banyak karena pada umumnya mereka mempunyai dana untuk membiayai sawmill di pinggir sungai dan punya dana untuk menyogok oknum kalau kena razia. Nah, dalam teori ini, si cukong besarlah yang membeli kayu dari cukong menengah atau kecil dan cukong besarlah yang dapat melewati penjagaan dan razia di kabupaten, propinsi dan nasional.

Dalam teori segitiga mas illegal logging ini, lebih besar si cukong untuk membayar sogok, upeti, denda, pungutan dsb, lebih leluasa si cukong gede untuk memasarkan kayu illegalnya ke pasar nasional maupun ekspor. Menurut teori ini, lingkaran segitiga mas industri illegal logging ini masih berlangsung secara nasional.

Dalam kegiatan proyek GTZ MRPP, proyek hanya bisa mengumpulkan data, melaporkan hasil temuan dan mengadvokasi pemerintah, masyarakat dan penegak hukum mengenai kegiatan di areal 24,000 ha di Hutan Rawa Gambut (HRG) Alami di Merang.

Salah satu survei komrehensif dilakukan MRPP bekerjasama dengan Universitas Muhamadiyah Palembang, Fakultas Kehutanan pada Oktober 2008, memperkirakan dalam 2-5 tahun, HRG alami di Merang akan hilang di balak oleh pembalak liar didanai cukong kecil, menengah dan besar. Si cukong makin kaya, si oknum pejabat atau petugas kebagian uang haram dan masyarakat pembalak liar yang marjinal baik lokal maupun pendatang dari kabupaten lain tetap miskin. Bencanapun akan datang karena hutan telah tiada. Solusinya penegakan hukum untuk memutuskan mata rantai industri illegal logging, terutama si cukong mesti dibawa ke meja hijau.

Putusnya mata rantai illegal logging juga belum begitu kuat tanpa masyarakat disekitar dan didalam hutan tidak diberikan pendapatan alternatif atau kegiatan pembangunan masyarakat yang juga sudah ditulis dalam kolom sebelumnya.

Strategi MRPP untuk menghadapi tantangan illegal logging di hutan Merang membentuk Kelompok Masyarakat Peduli Hutan (KMPH). Pengelompokan ini adalah sarana untuk memberdayakan masyarakat dengan pendekatan Community Based Forest Management (CBFM) atau Manajemen Hutan Berbasis Masyarakat. Anggota kelompok ini pada umumnya masyrakat desa di dekat proyek Merang di hutan Merang, Bayung Lencir, kabupaten Musi Banyuasin. Kegiatan wajib bagi KMPH mencangkup menjaga dan melindungi kelestarian kawasan hutan rawa gambut, melakukan penanaman kembali jenis lokal di kawasan hutan rawa gambut, melakukan penanaman tanaman keras di kebun atau di luar wilayah project, melakukan penyadartahuan kepada masyarakat luas tentang pentingnya kawasan hutan rawa gambut dan terlibat aktif di dalam kegiatan pengembangan kapasitas yang dilaksanakan proyek. Sekarang sudah terbentuk 10 KMPH dengan anggota 20 untuk setiap kelompok.
Di dalam kelompok-kelompok KMPH diadakan Thematic Trainings untuk anggota KMPH bertemakan pelatihan dasar manajemen, dinamika kelompok, teknologi dan manajemen usaha peningkatan pendapatan yang dipilih, ekonomi rumah tangga dan pembukuan usaha simpan pinjam. Adapun usaha peningkatan pendapatan, di Bina desa, masyarakat memilih pembesaran ayam buras sedang di desa Kephayang memilih pembesaran ayam negeri.

Program Pemberdayaan Masyarakat berikutnya difokuskan pada subsidi pengembangan lembaga keuangan mikro desa. Diikuti dengan evaluasi usaha simpan pinjan pada kelompok binaan sebelumnya.

Kegiatan perlindungan hutan dan pengembangan masyarakat disekitar dan dalam hutan adalah dua unsur penting dalam Sustainable Forest Management, SFM adalah sistem dimana hutan dilihat sebagai bagian dari komponen kehidupan. Menurut satu definisi SFM yang ditulis Ruspandi (PUSDIKLAT Kehutanan-Bogor) setelah pulang dari training dibiayai oleh GTZ ke Jerman yang berkembang di dunia kehutanan dan banyak dikembangkan di Jerman adalah

Setiap kawasan hutan diyakini sebagi bagian dari komponen kehidupan, dengan berbagai fungsinya seperti tempat rekreasi, konservasi flora dan fauna, produksi hasil hutan, tempat perburuan, komponen pengendali iklim dan tata air serta lokasi dengan pemandangan yang indah.
Keseluruhan fungsi hutan pada suatu kawasan diatas, harus dapat dikelola secara optimal untuk menghindari terjadinya konflik .

Dalam mengelola berbagai fungsi hutan tersebut diperlukan SDM yang memilik kompetensi, dan kompetensi tersebut diperoleh melalui pendidikan, pengalaman kerja dan pelatihan profesional yang secara rutin harus dijalani.

Forest Ranger (Polhut) harus memiliki pengetahuan terkait teknis, komersial dan ekologis dalam pengelolaan hutan, berburu, konservasi alam dan perlindungan lingkungan. Forest Ranger juga harus memilki kemampuan bekerjasama dengan masyarakat dan pemilik hutan dalam membantu menyiapkan perencanaan tahunan hutan masyarakat dan hutan milik. Meskipun hutan masyarakat dan hutan milik tidak dikuasai negara namun terdapat regulasi yang ketat terhadap kemungkinan untuk mengkonversi hutan tersebut untuk kepentingan di luar kehutanan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pengelolaan hutan merupakan wujud dari kerjasama dan kolaborasi semua pihak yang didukung oleh SDM yang Profesianal.

Kemenhut akhir-akhir ini juga telah mengadopsi SFM dengan membentuk badan pengelolaan hutan tingkat tapak yaitu Kelompok Pengelolaan Hutan (KPH). Hutan Merang dikelolah dibawah naungan Kelompok Pengelolaan Hutan Produksi Lalan Mangsang Mendis di Musi Banyuasin.
Di Indonesia SFM harus ada dukungan dari tiga jalur politik yaitu eksekutif, legislatif dan yudikayif. Lebih jauh menurut Ruspandi KPH semestinya mempunyai langkah-langkah sbb: Dukungan politik pemerintah terutama Kemendagri (NSPK Organisasi KPH), Kemenpan (NSPK Kompetensi KPH), DPRD Prov/Kab dan Gubernur/Bupati (Perda Prov/Kab, Pergub/Perbup); Dukungan anggaran kegiatan berkelanjutan terutama dari Kemenhut, sehingga memacu gairah pemerintah daerah untuk membentuk KPH; Permenhut yang merinci secara jelas tugas/fungsi antara KPH (pengelola) dengan Dinas Kehutanan, sehingga mengurangi hambatan internal yang saat ini dirasakan di daerah; Review seluruh Permenhut, sehingga dapat mengakomodir tupoksi/keberadaan KPH; Perlu dipikirkan pula regulasi kolaborasi ketenagaan tingkat lapangan yang berasal dari pemerintah pusat dan pemda provinsi/kabupaten (jaman dulu istilah DPK=dipekerjakan dan DPB=diperbantukan) atau pola rekruitmen dan Apabila memungkinkan memberikan tunjangan profesional (Remunerasi) kepada seluruh personil KPH, karena organisasi KPH sudah jelas target/hasil/manfaat/dampak yang akan diperoleh.

Sedangkan dalam mengimplementasikan diperlukannya akurat data yang didapat dari inventarisasi hutan. Inventarisasi hutan secara menyeluruh dilakukan terhadap semua kawasan hutan dengan teliti baik secara kuantitas dan kualitas sehingga didapat informasi secara pasti hingga data per pohon terkait jenis, volume hingga tempat tumbuhnya serta dilakukan penandaan yang jelas. Data yang lengkap sebagai dasar untuk mengatur wilayah yang dilidungi atau wilayah yang memiliki potensi komersial untuk pemanfaatan lainnya yang kelak disusun dalam suatu rencana pengelolaan hingga rencana pemanfaatan tahunan.
SFM di Indonesia diimplementasikan dalam bentuk Kelompok Pengelolaan Hutan (KPH), hutan Merang adalah bagian dari KPHProduksi Lalan Mangsangmendis (KPHP Lalan). Dalam kaitanya dengan Proyek Merang REDD Pilot Proyek, KPHP Lalan akan merupakan pengelola proyek pasca berakhirnya proyek persiapan REDD ini. Makanya kolaborasi antara proyek dan KPHP sangat erat. Diharapkan ketika proyek berakhir KPHP-lah yang yang akan mengelola kegiatan REDD di areal 24.000 ha. Dan apabila nanti ada dana bantuan maupun dana hasil penjualan karbon, maka KPHP Lalan yang menjadi pengelolanya. KPH kedepan adalah bentuk wujud dari pengelolaan hutan secara berkesinambungan.